Selamat Datang di Blog Lembaga Kebudayaan Daerah Kepulauan Aru

Senin, 22 Oktober 2018

KEBUDAYAAN MALUKU

A. Letak Geografis Provinsi Maluku dengan ibukota Ambon, terletak di antara 03 derajat Lintang Utara – 8.30 derajat Lintang Selatan, dan 125 derajat -135 derajat Bujur Timur. Sebelah Utara : Lautan Pasifik Sebelah Timur : Provinsi Papua Sebelah Selatan : Negara Timor Leste dan Australia Sebelah Barat : Provinsi Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Tengah Provinsi Maluku memiliki wilayah yang berpulau-pulau sehingga dikatakan sebagai Provinsi seribu pulau. Dari ujung utara sampai ujung selatan terdiri atas gugusan pulau-pulau besar dan kecil. B. Sistem Budaya Sistem budaya masyarakat Maluku diberi wadah sebagai berikut: Pela Pela adalah mata rantai penghubung yang terkuat antara masyarakat Muslim dan masyarakat Kristen; dan satu-satunya lembaga tradisional yang mengharuskan adanya kontak teratur antara dua kelompok di tingkat desa, dan dalam pela inti persaudaraan diuji secara berkala. Ketika sebuah desa Muslim membantu kelompok Kristen anggota pela, atau sebaliknya, bantuan ini juga merupakan komitmen, tidak hanya kepada sekutu utama seseorang, tetapi juga untuk kepentingan persaudaraan masyarakat Ambon. Penyerahan sebuah masjid oleh Desa Kristen Hatu kepada Muslim Wakasihu (keduanya di Pulau Ambon), misalnya, itu bergema ke pulau lainnya. Masyarakat Muslim dan Kristen di mana pun melihat tindakan ini sebagai suatu penegasan ikatan kebersaman mereka. Hubungan pela ini dibentuk oleh para datuk atau leluhur dalam ikatan yang begitu kuat. Anggota pela tidak dibatasi oleh agama. Banyak contoh yang menunjukkan bahwa desa-desa Nasrani tergabung dalam satu pela dengan desa-desa Islam. a) Pengertian Pela; Pela berasal dari kata ‘pila’ yang berarti ‘buatlah sesuatu untuk bersama’. Sedangkan bila ditambah dengan akhiran –‘tu’ menjadi ‘pilatu’, artinya menguatkan usaha agar tidak mudah rusuh atau pecah. Tetapi juga ada yang menghubungkan kata ‘pela’ ini dengan ‘pela-pela’ yang berarti saling membantu atau menolong. Dengan beberapa pengertian ini maka dapat dikatakan bahwa ‘pela’ adalah suatu ikatan persaudaraan atau kekeluargaan antara dua desa atau lebih dengan tujuan saling membantu atau menolong, saling merasakan senasib sepenanggungan. Dalam arti bahwa senang dirasakan bersama , begitupun susah dirasakan bersama (Departemen Pendidikan dan Kebudayan, 1977/1978: 27). Hubungan pela ini biasanya terjadi karena adanya peristiwa yang melibatkan kedua kepala kampung atau desa dalam rangka saling membantu. Ikatan pela ini memiliki nilai dan aturan yang mengikat masing-masing pribadi yang tergabung dalam persekutan persaudaraan atau kekeluargaan ini b) Jenis – Jenis Pela 1) Pela Keras (atau Pela Minum Darah, Pela Tuni , Pela Batukarang); Dikatakan demikian karena pela ini ditetapkan melalui sumpah para leluhur kedua belah fihak dengan cara minum darah yang diambil dari jari-jari mereka yang dicampur dengan minuman keras lokal dari satu gelas. Hal ini mematerikan sumpah persaudaraan untuk selama-lamanya. Pela ini biasanya atau umumnya adalah hasil dari keadaan perang. Kebanyakan dari insiden-insiden ini terjadi pada waktu dulu sebagai akibat adanya kontak dengan daerah lain, terutama pada abad ke-15. Pada waktu itu kerajaan Ternate, Tidore, Bacan, dan Jailolo selalu dalam keadaan bersaing untuk memperluas kekuasaan mereka ke selatan dengan menaklukkan orang-orang dan daerah di sekitar Pulau Seram. Tekanan ini ditambah dengan kedatangan orang Portugis dan orang Belanda yang mengakibatkan kekacauan pada penduduk Maluku Tengah. Terjadilah migrasi dari daerah yang satu ke daerah yang lain untuk menyelamatkan diri dari penalukan secara politis atau keagamaan. Mereka diserang dan menyerang. Dengan demikian tidak ada rasa aman. Dalam keadaan demikian timbullah kesempatan antara dua kelompok atau lebih untuk bersatu berdasar sumpah persahabatan. Persatuan persahabatan ini dipelihara sampai sekarang. Anggota pela ini dituntut untuk tidak saling menikah dan saling membantu atau memikul beban. (Cooley: 184). 2) Pela Lunak ( Pela Tempat Sirih); Jenis Pela ini diikat dengan makan sirih pinang bersama. Ikatan Pela ini terjadi karena bertemu dalam situasi untuk saling membantu, misalnya saat terjadi bencana alam, pembangunan masjid, gereja, dan sekolah. Dapat juga terbentuk melalui kegiatan masohi atau bantuan tenaga dari desa satu ke desa lainnya. Dalam pela ini tidak dilarang untuk menikah sesama anggota pela. 3) Pela Ade Kaka (Pela Gandong); Jenis pela ini umumnya merupakan hasil pertemuan kembali antara adik-kakak yang berpencar dan telah membentuk kampung sendiri. Umumnya pela saudara ini berlangsung antara kampung yang beragama Islam dan kampung yang beragama Kristen. Pela ini biasanya dikenal dengan nama Pela Gandong. 4) Panas Pela; Panas Pela adalah suatu kegiatan yang dilakukan setiap tahun antara desa yang telah sama-sama mengangkat sumpah dalam ikatan pela untuk mengenang kembali peristiwa angkat pela yang terjadi pada awalnya. Kegiatan panas pela ini intinya adalah untuk lebih menguatkan, mengukuhkan hubungan persaudaraan dan kekeluargaan. Walaupun ada berbagai jenis pela, tetapi semuanya mempunyai hakekat yang satu, yaitu ikatan persaudaraan atau kekeluargaan yang berlangsung untuk selama-lamanya. Patasiwa dan Patalima Organisasi Patasiwa dan Patalima merupakan suatu organisasi untuk menghimpun kekuatan politik dan dulu merupakan suatu organisasi kemiliteran. Istilah patasiwa berarti ‘sembilan bagian’ (pata = bagian, siwa = sembilan) dan patalima berarti ‘lima bagian’. Di Ambon dan Seram tiap-tiap desa termasuk dalam salah satu dari kedua organisasi tersebut. Walaupun tiap orang Ambon dari desa masih mengenali dari daerah mana mereka berasal, tetapi mengenai arti dan azas dari pembagian masyarakat tersebut sudah tidak ada orang yang dapat menerangkannya. Keterangan dari berbagai orang mengenai hal itu biasanya berbeda dan bertentangan satu sama lain. Organisasi Patasiwa dan Patalima sebenarnya berasal dari Seram Barat. Patasiwa merupakan kelompok orang-orang Alifuru yang bertempat tinggal di sebelah barat Sungai Mala sampai Teluk Upa-putih, di sebelah Selatan, sedangkan Patalima adalah orang-orang yang tinggal di sebelah Timur dari batas-batas tadi. Patasiwa dapat dibagi menjadi dua kelompok yaitu Patasiwa Hitam (atau Patasiwa Mete dalam bahasa aslinya) dan Patasiwa Putih yang tinggal di daerah sempit sepanjang pantai Selatan, sepanjang Timur Sungai Mala sampai Teluk Teluti. Patasiwa Hitam memiliki warga yang kulitnya dirajah, sedangkan Patasiwa Putih tidak. Arti dari pembagian ini tidak diketahui dengan pasti. Pada umumnya orang menyatakan bahwa Patisiwa Putih berasal dari Barat yang berpindah ke daerah Patalima. Data lain yang berhubungan dengan hal ini adalah bahwa dahulu kala sebelum ada pembagain Patasiwa dan Patalima, telah ada sistem pembagian dua dalam masyarakat penduduk Pulau Seram, yaitu Pata Alume (Halune) dan Pata Weimale (Memale). Pata Alume mendiami daerah Sungai Tapalewa, sedangkan Pata Weimale mendiami sebelah selatan dari sungai Tala dan ke sebelah Timurnya. Tampaknya Weimale lebih tersebar ke Patalima hingga sekarang. Kemungkinan yang kiranya dapat diterima adalah bahwa pengaruh dari kerajaan Ternate dan Tidore-lah yang menjadi sebab adanya pengelompokan orang-orang Alume dan Weimale, dan mungkin juga dengan orang-orang lain yang membentuk organisasi kesatuan masyarakat yang lebih besar, yaitu Patasiwa dan Patalima. Rupanya Patasiwa dan Patalima terjadi karena keperluan kemiliteran dan politis yang asalnya dari Ternate dan Tidore sebagai pusat kekuasaan pada saat itu. Suatu organisai rahasia yang berhubungan erat dengan adanya organisasi Patasiwa Hitam dan Patasiwa Putih adalah organisasi rahasia Kakehan. Ciri khas dari anggotanya, terutama yang berasal dari Patasiwa Hitam adalah muka yang dirajah. Dahulu mereka melakukan serangan-serangan pemenggalan kepala dan berbagai upacara yang bersangkut paut dengan itu. C. Sistem Sosial Sistem sosialnya terkandung dalam: Organisasi dalam masyarakat, yaitu: a. Jojaro: organisasi kemasyarakatan yang terdiri dari pemuda-pemudi dewasa yang belum kawin. Bila ada seorang anggota jojaro kawin dengan pemuda di luar desa, maka jojaro dapat menghalangi jalan ke luar mereka dari desa dan menuntut dari pengantin laki-laki pembayaran berupa sehelai kain putih. Kalau tuntutan mereka belum dibayar, pengantin perempuan tidak diijinkan meninggalkan desa b. Ngurare: organisasi pemuda-pemuda yang belum kawin Ngungare membantu jojaro dan mengawasi pembayaran tuntutan mereka. Terutama di Seram Barat pemuda-pemudi di bawah kepala jojaro mendapat kebebasan yang cukup berarti dalam kehidupan desa, misalnya saja mereka boleh menerima tamu dalam perayaan-perayaan memakai pakaian yang indah-indah. Mereka juga dapat bertamasya bersama-sama dengan ngungare mereka yang mereka namakan makan petita. c. Muhabet: organisasi yang mengurusi kegiatan yang berkaitan dengan Kematian. Anggotanya ialah kerabat dan warga satu desa. Gotong Royong Gotong royong merupakan bentuk kerjasama, misalnya membuat gereja, masjid, balieu, atau tempat tinggal. Gotong royong dilakukan oleh para penduduk suku asal dengan para pendatang. Pola hubungan Anak Negeri dengan Orang Dagang dipererat oleh kepentingan ekonomi dari masing-masing kelompok. Yang menjadi perekat hubungan sosial antar kedua kelompok ini bukan agama, tetapi transaksi ekonomi. Hal ini terjadi karena umumnya Orang Dagang yang terbanyak berasal dari Buton, mendiami dan menggarap lahan milik petuanan Negeri Serani. Sedangkan Orang Dagang asal negeri lain, pada umumnya pola hubungan sosial dengan Anak Negeri direkatkan oleh kekerabatan karena perkawinan atau pekerjaan sosial lain. Pada daerah pedesaan Maluku Tengah, terdapat tiga pengelompokan masyarakat, yaitu Anak Negeri Serani, Anak Negeri Salam, dan Orang Dagang. Orang Dagang dari luar Maluku yang dominan adalah etnis Buton. Mereka menetap, berbaur dengan anak negeri maupun membentuk kelompok sendiri dalam Petuanan Negeri. Orang Dagang yang berasal dari keturunan Arab atau Cina, datang dan mendiami sebuah negeri dalam jumlah yang kecil, hanya satu atau beberapa keluarga. Mereka hadir sebagai pedagang yang tidak membentuk kelompok yang terpisah dari Anak Negeri, tetapi berbaur dalam komunitas Anak Negeri. Perekat sosial antar satu kelompok dengan kelompok yang lain berbeda-beda. Perekat sosial antara Anak Negeri dengan Orang Dagang lebih didominasi oleh kepentingan ekonomi. Perekat sosial yang mengikat hubungan sosial antara Anak Negeri Serani dengan Anak Negeri Salam antara lain terlihat dalam sifat kegotongroyongan dalam hal pembangunan rumah ibadah, anak Negeri Serani merasa wajib untuk menyiapkan bahan bangunan (biasanya kayu) dan bersama-sama membangun masjid. Demikian pula sebaliknya Anak Negeri Salam merasa wajib untuk menyiapkan bahan bangunan dan bersama-sama membangun gereja. D. Unsur Kebudayaan Bahasa Pada umumnya masyarakat menggunakan Bahasa Melayu, yang berasal dari Indonesia bagian Barat, dan telah berabad-abad menjadi bahasa antarsuku di seluruh Kepulauan Nusantara. Sebelum bangsa Portugis menginjakkan kakinya di Ternate (tahun 1512), bahasa Melayu telah ada di Maluku dan dipakai sebagai bahasa perdagangan. Bahasa Melayu Ambon berbeda dengan bahasa Melayu Ternate karena pada jaman dahulu suku-suku di Ambon dan yang tentunya mempengaruhi perkembangan bahasa Melayu Ambon sangat berbeda dengan bahasa suku-suku di Ternate. Bahasa Melayu Ambon mendapat banyak pengaruh dari bahasa Melayu Makasar. Ketika Portugis menjajah Maluku, cukup banyak kosa kata bahasa Portugis masuk ke dalam bahasa Melayu Ambon. Terakhir bangsa Belanda masuk ke Maluku, sehingga cukup banyak kata serapan dari bahasa Belanda yang diterima menjadi kosakata bahasa dalam bahasa Melayu Ambon. Pada zaman Belanda inilah bahasa Melayu Ambon dipakai sebagai bahasa pengantar di sekolah-sekolah, di gereja-gereja, dan juga terjemahan beberapa kitab dari Alkitab. Setelah Bahasa Indonesia Baku diajarkan di sekolah-sekolah di Maluku, ia mulai mempengaruhi Bahasa Melayu Ambon sehingga sejumlah kata diserap dari bahasa Indonesia Baku ke dalam Bahasa Melayu setempat, tentu saja disesuikan dengan logat setempat. Pada awalnya misionaris Belanda menerjemahkan Injil dalam bahasa Melayu, dan dibawa ke Ambon. Di sini para penduduk yang bisa menghafal Injil itu kemudian dibaptis, dan dibimbing dalam bahasa Melayu. Bahasa ini kemungkinan dibawa dari Malaka, karena pada masa itu sudah ada kegiatan dagang antara Malaka dan Maluku. Pada awalnya Bahasa Melayu ini hanya dalam bentuk bahasa pasar yang kemudian menjadi bahasa tutur anak-anak generasi selanjutnya, menjadi bahasa ibu bagi masyarakat Kristen Ambon dan sebagian kecil Muslim Ambon. Sedangkan kebanyakan masyarakat Muslim Ambon masih mempunyai bahasa daerah sendiri yang disebut ‘Bahasa Tana’. Struktur Bahasa Melayu Ambon juga agak berbeda dengan Bahasa Melayu pada umumnya, namun lazim di Indonesia Timur. Struktur bahasanya sangat mirip dengan bahasa-bahasa di Eropa. Sebagai contoh: (kepemilikan) Beta pung buku = Buku saya = My book Susi pung kaka = Kakak Susi = Susi’s brother/sisterAhmad ada pi ka Talehu = Ahmad sedang pergi ke Talehu Lafal juga mengalami nasalisasi, terutama pada akhiran ‘n’: makang (makan), badiang (diam), jang (jangan), ikang (ikan), lawang (lawan). Kata ganti orang adalah sebagai berikut: beta (saya), ose (kamu, di beberapa daerah dikatakan ‘os’ atau ‘se’, asal dari kata ‘voce’ bahasa Portugis), katong (kependekan dari kita orang), dorang (kependekan dari mereka, dia orang), kamong atau kamorang (kamu orang / kalian). Panggilan sosial: Babang / abang (kakak laki-laki, dipakai kalangan Muslim)Caca (kaka perempuan, dipakai kalangan Muslim)Usy (kakak perempuan, dipakai kalangan Kristen)Broer / bung / bu (kakak laki-lki, dipakai kalangan Kristen)Nyong (netral)Bapa Raja (kepala desa) Beberapa contoh kata serapan Bahasa Melayu Ambon dari Bahasa Portugis dan Belanda: Ose (kamu) = Voce (Portugis)Fader (ayah) = Vader (Belanda)Marinyo (penyuluh) = Meirinho (Portugis)Muder (ibu) = Moeder (Belanda) Selain bahasa Melayu Ambon, di seluruh Maluku dari Kei sampai Ternate terdapat bahasa-bahasa daerah asli Maluku yang disebut dengan ‘Bahasa Tana’. Bahasa ini tidak hanya terdapat pada beberapa daerah atau desa-desa akan tetapi bahasa ini merupakan bahasa ibu orang Maluku. Bahasa ini sering disebut ‘tana’ daripada ‘tanah’, walaupun artinya sama namun memiliki nilai yang berbeda dalam Bahasa Ambon. ‘Tana’ dalam Bahasa Ambon bisa berarti tanah, bisa juga berarti ditujukan kepada tanah leluhur di Pulau Nusa Ina, sehingga Bahasa Tana dapat diartikan sebagai bahasa asli Maluku. Bahasa sehari-hari adalah bahasa nasional, Bahasa Indonesia dalam dialek Melayu-Ambon. Terdapat sekitar 40 bahasa atau dialek lokal dari rumpun besar Austronesia maupun non-Austronesia. Pendukung kebudayaan di Maluku terdiri dari ratusan sub-suku, yang dapat diindikasikan dari pengguna bahasa lokal. Yang diketahui masih aktif dipergunakan sebanyak 117 dari jumlah bahasa lokal yang pernah ada. Sistem Organisasi Sosial Meskipun masyarakat daerah ini mencerminkan karakteristik yang multikultur, tetapi pada dasarnya mempunyai kesamaan nilai budaya sebagai representasi kolektif. Salah satunya adalah filosofi Siwalima yang selama ini telah melembaga sebagai cara pandang masyarakat tentang kehidupan bersama dalam pelbagai hal. Dalam filosofi ini terkandung berbagai pranata yang memiliki nilai umum dan dapat ditemukan di seluruh wilayah Maluku. a. Sistem Kekerabatan Sistem kekerabatan orang Ambon berdasarkan hubungan patrilineal, yang diiringi dengan pola menetap patrilokal. Kesatuan kekerabatan yang lebih besar dari keluarga batih adalah matarumah atau fam. Matarumah merupakan kesatuan laki-laki dan wanita yang belum kawin dan para isteri dari laki-laki yang telah kawin. Dengan kata lain matarumah merupakan satu klen-kecil patrilineal. Matarumah penting dalam mengatur perkawinan warganya secara exogami dan dalam hal mengatur penggunaan tanah-tanah dati yaitu tanah milik kerabat patrilineal. Di samping kesatuan kekerabatan yang bersifat unilineal itu ada kesatuan lain yang bersifat bilateral, yaitu family atau kindred. Family merupakan kesatuan kekerabatan di sekeliling individu, yang terdiri dari warga yang masih hidup dari matarumah asli, ialah semua keturunan dari keempat nenek moyang. Terkait dengan pengaturan tanah, dalam sistem adat masyarakat Ambon dikenal tiga jenis tipe kepemilikan tanah yaitu: • Tanah yang dimiliki oleh negeri yaitu tanah negeri • Tanah yang dimiliki oleh klen dan sub-klen atau matarumah yaitu tanah dati • Tanah yang dimiliki secara individu oleh pewaris dalam keluarga yaitu tanah pusaka Dati Ada pendapat bahwa dati adalah kesatuan wajib kerja. Dati tersebut pada mulanya adalah laki-laki dewasa yang tangguh, yang diambil dari setiap rumah tangga dan secara pribadi dibebani pekerjaan untuk turut dalam pelayaran hongi. Anak laki-laki tersebut turut pula melakukan tugas hongi, baik atas perintah penguasanya karena sudah waktunya ataupun menggantikan bapak mereka yang sakit atau tidak kuat lagi bekerja. Oleh karena keturunan para dati cukup banyak, maka tugas itu dapat mereka kerjakan secara bergiliran. Akhirnya tugas itu dikerjakan oleh kelompok keluarga dari para dati. Hongi adalah armada perang dari rakyat Maluku jaman dahulu kala, terdiri atas kora-kora dan digunakan untuk memerangi musuh. Tugas hongi sudah ada sebelum Belanda masuk dan menjadi tugas para dati untuk menjadi para pelaut hongi. Hongi dan kuarto adalah tugas yang tertua. Tugas hongi saat ini telah dihapus. Pada jaman VOC, hongi, nama jenis perahu di Maluku yang bentuknya panjang dipakai untuk patroli laut Belanda yang didayung oleh penduduk setempat yang dilakukan secara paksa, menjadi armada yang digunakan untuk mengamankan kepentingan politik monopolinya dalam perdagangan rempah-rempah. Belanda memperoleh monopoli perdagangan di Indonesia dengan cara melakukan pelayaran hongi untuk memberantas penyelundupan. Tindakan yang dilakukan VOC adalah dengan merampas setiap kapal penduduk yang menjual langsung rempah-rempah kepada pedagang asing seperti Inggris, Perancis, Denmark. Hal ini banyak dijumpai di pelabuhan bebas Makasar. b. Perkawinan Perkawinan menurut adat merupakan urusan dari dua kelompok kekerabatan, yaitu matarumah dan famili yang ikut menentukan penyelenggaraan dari perkawinan itu. Perkawinan di sini bersifat exogami, yaitu seseorang harus kawin dengan orang di luar klennya. Mereka mengenal tiga macam cara perkawinan yaitu 1. Kawin Minta, 2. Kawin Lari, dan 3. Kawin Masuk. 1) Kawin Minta; Kawin minta terjadi bila seorang pemuda telah menemukan seorang gadis yang akan dijadikan isterinya, maka ia akan memberitahukan hal itu kepada orangtuanya. Kemudian mereka mengumpulkan seluruh anggota famili untuk membicarakan hal itu dan membuat rencana perkawinan. Di sini diperbincangkan pula pengumpulan kekayaan untuk membayar mas kawin, perayaan perkawinan dan sebagainya. Kalau semua sudah setuju, kemudian dikirimkan surat atau delegasi ke orangtua si gadis, untuk minta waktu bagi kunjungan melamar. Apabila keluarga si gadis menunjukkan ketidaksetujuannya, maka pendekatan itu dibatalkan. Namun hal ini jarang terjadi, karena biasanya keluarga pria sudah memperhitungkan jawabannya. Tentu saja si gadis dan si pemuda sudah ada kepastian bahwa orangtua si gadis akan menerimanya; kalau tidak tentulah disarankan kawin lari. 2) Kawin Lari atau Lari Bini; Kawin Lari atau Lari Bini adalah sistem perkawinan yang paling lazim. Hal ini terutama disebabkan orang Ambon umumnya lebih suka menempuh jalan pendek, untuk meghindari prosedur perundingan dan upacara. Kawin Lari sebenarnya dianggap kurang baik dan kurang diinginkan oleh pihak kerabat wanita. Sebaliknya dari pihak kerabat pemuda Kawin Lari lebih disukai, terutama karena pemuda itu hendak menghindari kekecewaan bila ditolak dan juga menghindari malu keluarga pemuda karena rencana perkawinan anaknya ditolak oleh keluarga wanita. Pada adat Kawin Lari, pada hari yang telah ditentukan, kira-kira satu minggu setelah dilarikan, keluarga pemuda akan membawa keluar si gadis dari persembunyiannya dan membawa ke rumah keluarga pemuda. Pada waktu memasuki rumah diadakan upacara tertentu yang kemudian diikuti dengan pesta. Si pemudi harus mengedarkan nampan berisi rokok, minuman dan lain-lain untuk memperlihatkan bahwa ia telah berperan resmi sebagai nyonya rumah. Teman-teman dan tetangganya diundang dalam pesta ini agar mengetahui bahwa ia telah menjadi isteri si pemuda. Kemudian ia akan tinggal bersama keluarga si pemuda. 3) Kawin Masuk atau Kawin Manua; Pada perkawinan ini pengantin laki-laki tinggal di rumah keluarga wanita. Ada tiga penyebab perkawinan ini: alasan pertama keluarga si pemuda tidak dapat membayar mas kawin secara adat, maka ia harus bekerja di tanah kerabat isterinya. Alasan kedua keluarga si gadis hanya beranak tunggal, sehingga si gadis harus memasukkan suaminya dalam klen ayahnya untuk menjamin kelangsungan klen. Alasan ketiga adalah karena ayah si pemuda tidak mau menerima menantu perempuannya disebabkan oleh perbedaan status atau alasan lainnya. Secara umum poligami diizinkan, kecuali yang beragama Nasrani, akan tetapi jarang yang melakukan. c. Desa 1) Bentuk Desa; Desa-desa di Pulau Ambon biasanya merupakan sekelompok rumah yang didirikan sepanjang suatu jalan utama. Rumah-rumah desa biasanya didirikan amat berdekatan, tetapi ada pula desa-desa yang rumahnya berjauhan dan dipisahkan oleh pekarangan. Desa-desa seperti ini pada zaman dulu merupakan penggabungan dari dua atau lebih perkampungan kecil yang letaknya berdekatan. Perkampungan ini disebut aman, dan terdiri dari beberapa soa, yang diperintah oleh seorang ama (bapak atau tuan). Tiap soa terdiri atas beberapa mata-rumah. Kumpulan beberapa aman disebut desa yang juga disebut negeri. Desa dinamakan negeri dan dikepalai oleh seorang raja (sama dengan kepala desa di Jawa). Aman, soa, dan mata-rumah dewasa ini tak tampak lagi dalam struktur desa karena pada waktu perpindahan dahulu dari bukit-bukit ke daerah pantai, kesatuan ini terpecah belah terpisah satu sama lain. Rumah penduduk asli pada umumnya merupakan rumah bertiang, berlainan dengan rumah orang Islam dan Kristen, yang lantainya sejajar tanah. Bentuk rumah umumnya segi empat dengan serambi muka yang kecil dan terbuka (dego-dego). Atapnya curam dengan lubang-lubang di sudut-sudut untuk mengeluarkan asap. Kadang-kadang di bagian belakang dibangun tempat untuk dapur. Kebanyakan rumah kurang fentilasi dan jendela untuk cahaya. Rangka rumah dibuat dari potongan batang pohon atau balok-balok, sedangkan dindingnya terbuat dari tangkai daun sagu (dinding gaba-gaba). Atapnya terbuat dari anyaman daun sagu. Rumah kepala soa kerapkali dibangun dengan megah dan biasanya bergaya Eropa. Mesjid dan gereja telah dibuat setengah tembok. Pusat desa tampak dengan adanya bangunan penting yang letaknya berdekatan, yaitu: baileu, yaitu balai desa dan balai adat, rumah kediaman raja (kepala desa), gereja, masjid, rumah pendeta, toko dan warung. Batu pamili, sebuah batu besar tempat meletakkan sesaji di muka pintu sebuah bangunan di Maluku merupakan tanda bahwa bangunan tersebut adalah Balai Adat. Balieu atau Balai Adat inilah yang menjadi banguna induk anjungan. Sembilan tiang di depan dan belakang, serta lima tiang di sisi kiri dan kanan merupakan lambang Siwa Lima, simbol persekutuan desa-desa di Maluku yang telah ada sejak berabad-abad yang lalu. Bangunan baileu sebagai bangunan induk aslinya tidak berdinding dan merupakan rumah panggung, yakni lantainya tinggi di atas permukan tanah. Ada pula balieu yang lantainya di atas batu semen dan balieu yang rata dengan tanah. Di antara ketiga macam balieu yang paling lazim dan paling khas adalah yang lantainya dibangun di atas tiang. Jumlah tiangnya melambangkan jumlah klen-klen yang ada di desa itu. Balieu yang tidak berdinding mengandung maksud agar roh-roh nenek moyang mereka bebas kelaur masuk bangunan tersebut. Sedang lantai balieu dibuat tinggi dimaksudkan agar kedudukan tempat roh-roh nenek moyang tersebut lebih tinggi dari tempat berdiri rakyat desa. Selain itu rakyat akan mengetahui bahwa permusyawaratan berlangsung dari luar ke dalam dan dari bawah ke atas. Fungsi balieu adalah untuk tempat musyawarah dan pertemuan rakyat dengan dewan rakyat serta saniri negeri, sebagai tempat pameran dan peragaan berbagai aspek kebudayaan Maluku. Pada bangunan balieu terdapat hiasan yang menggambarkan dua ekor ayam berhadapan diapit oleh dua ekor anjing. Hiasan itu menggambarakan roh nenek moyang, mengandung arti lambang kedamaian dan kesentosaan, karena kehidupan dijaga oleh roh-roh nenek moyang. Di bawah kayu yang melintang terdapat bulan, bintang, dan matahari dengan warna merah-kuning dan hitam. Hiasan ini merupakan lambang kesiapsiagaan balieu dalam menjaga keutuhan adat beserta hukum adatnya. Untuk masuk balieu orang harus melakukan upacara lebih dahulu yaitu minta izin kepada roh-roh yang ada di balieu. Yang melakukan upacara minta izin adalah tuan negeri yang dahulu disebut mauweng, yaitu perantara antara manusia dengan roh–roh nenek moyang. Orang yang masuk balieu harus berpakaian adat berwarna hitam dengan saputangan merah yang dikalungkan pada bahu. Negeri-negeri ini mengelompok dalam komunitas agama tertentu, sehingga timbul dua kelompok masyarakat yang berbasis agama, yang kemudian dikenal dengan sebutan Ambon Sarani dan Ambon Salam. Di samping pemimpin desa dan kepala-kepala adat, orang Ambon juga mengenal adanya pemimpin agama, pemimpin agama Nasrani, agama Islam dan agama asli. Pemuka agama Nasrani dan pemuka agama Islam sebenarnya menggantikan peranan pemuka agama asli yaitu mauweng, yang dulu merupakan perantara antara dunia ini dengan dunia roh nenek moyang dan dunia gaib. 2) Organisasi Desa Raja, walaupun sekarang harus dipilih, tetapi dalam kenyataannya masih banyak juga yang mendapat jabatannya karena keturunan, atau karena kewargaannya dalam klen yang secara adat berhak memegang pimpinan. Demikian raja memang masih merupakan jabatan adat saja, sedangkan pemerintahan desa yang sungguh-sungguh dilakukan oleh kepala-kepala soa secara bergilir, biasanya dua bersama-sama untuk dua sampai enam bulan. Selama itu kedua kepala soa yang sedang bertugas disebut kepala soa jagabulan atau biasanya disebut bapak jou. Nama saniri juga bisa dipakai untuk dewan-dewan pemerintahan desa yang lebih luas sifatnya, sehingga sebenarnya ada tiga macam dewan saniri, yaitu: a) Saniri Rajaputih: terdiri dari raja kepala-kepala soa, dan yang merupakan pelaksana administrasi desa dan instruksi-instruksi dari pemerintah pusat. b) Saniri Negeri Lengkap: terdiri dari raja, kepala-kepala soa, ditambah dengan pejabat-pejabat adat lainnya tersebut di atas dan yang merupakan dewan pembuat aturan-aturan adat atau dewan legislatif. c) Saniri Negeri Besar, yang terdiri dari semua pejabat pemerintahan desa ditambah dengan semua warga laki-laki yang sudah dewasa. Dewan terakhir ini merupakan suatu dewan perwakilan rakyat kecil, tetapi dalam praktek jarang sekali berkumpul, kecuali misalnya pada pemilihan raja, upacara pengesahan jabatan raja baru, dan yang semacam itu. Berikut ini adalah beberapa saniri atau pejabat tradisional dalam kehidupan sosial masyarakat suku Ambon; • Tuan tanah: seorang yang ahli dalam bidang pertanahan dan kependudukan • Kapitan: seorang yang ahli dalam peperangan • Kewang: seorang yang bertugas menjaga hutan • Marinyo: seorang yang bertugas menyampaikan berita dan pengumuman. 3. Sistem Ekonomi Mata pencaharian utama mereka adalah sebagai nelayan tradisional dan petani lahan kering (54%). Perahu mereka dibuat dari satu batang kayu, yang dilengkapi dengan cadik; perahu ini dinamakan perahu Semah. Perahu-perahu besar untuk berdagang disebut Jungku atau Orambi. Ada juga perahu yang dibuat dari papan oleh orang Ternate, dinamakan Pakatora. Cara menangkap ikan dapat dengan kail, dengan harpun untuk ikan-ikan yang besar, dan dengan jarring. Sebagai petani lahan kering mereka membuka sebidang tanah di hutan dengan menebang pohon dan membakarnya. Ladang yang telah dibuka ditanami dengan memakai tongkat, tanpa irigasi. Umumnya yang ditanam adalah kentang, kopi, cengkeh, tembakau yang umumnya dikonsumsi sendiri (mereka menanam di cucuran atap sehingga air hujan dapat menyiram tanaman tembakau tersebut), dan buah-buahan. Ada juga yang menanam tebu, singkong, jagung, dan kacang. Selain itu mereka juga sudah menanam padi dengan teknik persawahan Jawa. Di samping berladang, mereka juga berburu rusa, babi hutan, dan burung kasuari. Mereka melontarkan lembing dan juga menggunakan jerat. Sagu adalah makanan pokok orang Maluku pada umumnya. Pohon sagu tumbuh amat banyak, oleh karenanya tak perlu ditanam. Pohon yang telah cukup umur (antara 6-15 tahun) ditebang, batangnya dibelah, lalu terasnya yang berisi tepung dipukul-pukul sehingga menjadi lepas. Serat-serat tadi dicuci dan diperas-peras di atas saringan dari kain sehingga tepungnya dapat ditadah. Kemudian tepung itu dicetak menjadi kotak-kotak, dan dinamakan tuman, atau dimasak menjadi bubur kental (papeda). 4. Sistem Pengetahuan Kondisi geografis wilayah Maluku yang merupakan kepulauan memberi dampak yang cukup signifikan dalam menentukan sistem pengetahuan dan teknologi. Wilayah yang berbentuk kepulauan ini mengharuskan suku Ambon yang tinggal di Maluku untuk menguasai sistem pelayaran, dan juga sistem pembacaan arah melalui letak gugus bintang tertentu. Sehingga masyarakat Suku Ambon harus menguasai pengetahuan astronomi. 5. Sistem Teknologi Karena masyarakat Maluku adalah nelayan dan pelaut, mereka juga menguasai pertukangan terutama untuk perkapalan, di samping pembuatan rumah. Perahu khas Banda adalah kora-kora. Selain untuk menangkap ikan, pada acara-acara peringatan kora-kora juga dipertandingkan. Pada Sail Banda bulan Agustus 2010, pada saat itu dilakukan juga perlombaan perahu kora-kora, baik dari masyarakat desa adat setempat atau umum. 6. Sitem Religi Mayoritas penduduk Maluku memeluk agama Kristen Protestan (40%), Islam (35%), Katholik (15%), dan lainnya (10%), namun masih nampak sisa kepercayaan lama. Orang Ambon umumnya mengenal Upacara Cuci Negeri yang mungkin dapat disamakan dengan Upacara Bersih Desa di Jawa. Di Ambon yang penduduknya beragama Islam terlihat ada dua golongan yang dapat disamakan dengan penganut Islam di Jawa yaitu Abangan dan Santri, misalnya di Negeri Kailolo, di Pulau Haruku. 7. Kesenian a. Rumah Adat Bangunan tersebut biasanya sekaligus merupakan marka utama (landmark) kampung atau desa yang bersangkutan, selain masjid dan gereja. Berfungsi sebagai tempat penyimpanan benda suci, tempat upacara adat, tempat warga berkumpul membahas masalah. Rumah adat ini disebut baileo, berarti balai. b. Makanan 1) Makanan Adat a) Jaha atau Pali-pali adalah sejenis nasi yang dimasak di dalam seruas bambu atau dibungkus dengan daun rumbia (daun pohon sagu) yang dibentuk memanjang kurang lebih 40 cm dengan garis tengah 3 cm, sebanyak 10 potong diletakkan di atas sebuah piring / tempat menyerupai perahu pelambang laut (Heku / laki-laki). b) Dada (Kukusan) adalah nasi tumpeng yang diletakkan di atas sebuah piring dan dibentuk menyerupai sebuah gunung, pelambang daratan (Cim/perempuan) 2) Makanan Khas Sagu adalah salah satu makanan pokok di Ambon. Juga sebagai bahan dasar untuk membuat kue khas Ambon seperti kue arobe dan kue baksona. Papeda adalah bubur yang dibuat dari sagu, dimakan bersama ikan kuah kuning. Colo-colo adalah sambal khas Ambon yang terdiri dari racikan irisan bawang merah, cabe rawit, tomat dan air perasan jeruk lemon atau jeruk nipis, ditambah kecap manis. Biasa untuk makan ikan bakar, tahu goreng, atau telur dadar. c. Seni Suara Dalam bidang kesenian, seni suara di daerah Maluku sangat menonjol, baik vokal maupun instrumental. Hampir di setiap desa terdapat grup paduan suara. Di bidang musik Maluku terkenal dengan suling bambu yang terdapat di setiap desa. Orkes suling ini dipergunakan dalam kebaktian di gereja, maupun untuk meramaikan upacara-upacara lainnya. Selain itu terdapat pula orkes kulit bia atau kulit siput yang sangat unik. Terdapat juga alat musik petik yaitu Ukulele dan Hawaiian, seperti yang terdapat dalam kebudayaan Hawaii di Amerika Serikat. Musik-musik Maluku masih memiliki ciri khas di mana terdapat penggunaan alat musik Hawaiian, baik pada lagu-lagu pop maupun dalam mengiringi tarian tradisional seperti Katreji. Musik lainnya adalah Sawat, yaitu perpaduan antara budaya Maluku dan budaya Timur Tengah. d. Pantun dan Cerita Rakyat Di Maluku banyak bentuk-bentuk pantun yang dihapal dan dipergunakan pada saat badendang atau anakona, yaitu bernyanyi bersama sambil berpantun. Di kalangan rakyat berkembang pula cerita rakyat yang dituturkan turun temurun, misalnya Cerita • Nenek Luhu, • Batu Apen, • Gunung Nona, dan • Legenda Empat Kapitan. e. Seni Tari Maluku memiliki beraneka ragam tari-tarian tradisional seperti: 1) Tarian Sulureka-reka, yaitu tarian yang menggunakan empat buah gaba-gaba atau pelepah sagu yang dipegang dan dilompati penari lainnya. 2) Tari Cakalele Bulu Ayam, yakni semacam tari perang, ditarikan oleh laki-laki. Pakaian yang dikenakan adalah baju cele dan celana Makasar dengan ikat pinggang serta topi bulu ayam putih bersih. Alat yang dipakai sebagai pelengkap adalah parang dan sawaluku (perisai) dan musik yang mengiringi adalah tifa dan suling. 3) Tari Bulu Ayam ditarikan oleh wanita yang dipilih dari tiap-tiap soa. Pakaian dan alat musik mirip pada Cakalele Bulu Ayam yang disesuaikan dengan penarinya yaitu wanita. Sedangkan yang berasal dari tarian asing telah dianggap tarian warisan budaya atau tarian daerah setempat. 4) Tari Tifa: untuk menyambut tamu berasal dari Maluku Tenggara. 5) Tari Bulu (Bambu) Gila: Diangkat dari permainan tradisional dari Maluku Tengah yang mempunyai kesakralan dan magis. 6) Tari Lolaya: mengangkat upacara panen ke dalam bentuk pertunjukan. 7) Tari Tebe-tebe: berasal dari Timor. 8) Tari Sajojo: berasal dari Irian. 9) Tari Poco-poco: berasal dari Maluku, khususnya Ambon. 10) Tari Debus: seringkali dikaitkan dengan pertunjukan yang memperlihatkan kekebalan penari dengan mencoba melukai diri. Pada mulanya tarian ini dipersembahkan untuk kehebatan dan kekebalan orang-orang Syiah. f. Alat Musik Alat musik yang terkenal adalah • Tifa (sejenis Gendang) dan • Totobuang. Masing-masingi alat musik Tifa Totobuang ini memilki fungsi yang berbeda-beda dan saling mendukung satu sama lain sehingga melahirkan warna musik yang khas. Totobuang merupakan serangkaian gong-gong kecil. g. Seni Pahat dan Ukir Seni pahat dan ukir terdapat banyak di Maluku Tenggara yang nampak pada patung-patung pemujaan. Seorang anggota keluarga yang meninggal selalu dibuat patungnya sesuai dengan muka dan sifat-sifat orang itu. Seni kerajinan yang lain adalah pembuatan tempat air minum, tempat bunga dan lain-lain yang terbuat dari tanah yang dibakar dengan pelepah sagu. h. Kerajinan Kerajinan tenun dengan tangan di Maluku Tenggara, anyam-anyaman di Maluku Utara, serta kerajinan dari cegkeh, mutiara, batu karang dan lokan. i. Senjata Senjata tradisional yang terkenal adalah parang salawaku. Panjang parang adalah 90-100 cm, sedangkan salawaku (perisainya) dihiasi dengan motif-motif yang melambangkan keberanian. j. Busana Tradisional Ada beberapa contoh busana yang pada jaman dahulu pernah menjadi busana sehari-hari yang digunakan untuk bekerja atau di rumah. Celana kes atau hansop, yakni celana anak-anak yang dibuat dari beraneka macam kain. Kebaya manampal, yaitu kebaya cita berlengan hingga siku-siku yang dijahit dengan cara menambal beberapa potong kain yang telah diatur dan disusun sedemikian rupa hingga terlihat manis. Kaum wanita pendatang dari kepulauan Lease dan telah menetap di Ambon, mereka biasa menggunakan baju cele yakni sejenis kebaya berlengan pendek, bagian leher ke arah dada terbelah sepanjang 15 cm tanpa kancing. Untuk di kebun, baju cele tersebut dijahit dengan panjang lengan hingga siku, masyarakat menyebutnya baju cele lengan sepanggal. Sementara itu para pria Ambon mengenakan busana yang terdiri atas baju kurung lengan pendek dan tidak berkancing, dilengkapi dengan celana kartou, yakni celana yang pada bagian atasnya terdapat tali yang dapat ditarik dan diikatkan. k. Wisata Kawasan Taman Nasional Manusela banyak memiliki keunikan dan kekhasan seperti Lembah Pilianan yang kaya akan jenis kupu-kupu. l. Kegiatan upacara adat, antara lain: 1) Antar Sotong; Para nelayan berkumpul menggunakan perahu dan lentera untuk mengundang cumi-cumi dari dasar laut mengikuti cahaya lentera mereka. 2) Pukul Manyapu; Acara adat tahunan yang dilakukan di desa Mamala-Morella, biasanya dilakukan pada hari ke-7 setelah Idul Fitri. Asal mula tradisi ini adalah berawal dari perang Kapahaha yang terjadi pada tanggal 27 Oktober 1646, di pantai Sawatelu, Negeri Hausihu, nama lama dari Negeri Morella. Perang berawal dari pengepungan Benteng Kapahaha milik warga Maluku dan pendirian markas VOC di Teluk Sawatelu pada tahun 1646. 3) Lari Obor Patimura; Setiap tanggal 15 Mei, pemerintah bersama rakyat setempat melakukan prosesi adat dan kebangsaan dalam memperingati hari Pattimura. Yang paling terkenal adalah lari obor dari Pulau Saparua menyeberang lautan menuju Pulau Ambon, untuk selanjutnya diarak sepanjang 25 km menuju kota Ambon. Prosesi ini diawali dengan menyalakan api obor secara alam di puncak Gunung Saniri di Pulau Saparua. Ini adalah salah satu ritus sejarah perjuangan Pattimura karena di tempat itulah awal dari perang rakyat Maluku melawan Belanda pada tahun 1817. Catatan : • Masyarakat Maluku mempunyai sistem budaya yang diwadahi dalam Pela, dan dalam Patasiwa Patalima. Sistem Sosialnya termaktub dalam organisasi kemasyarakatannya dan dalam gotong royong. • Perekat sosial antara Anak Negeri dengan Orang Dagang didominasi oleh kepentingan ekonomi. Perekat sosial antara Anak Negeri Serani dengan Anak Negeri Salam terlihat dalam sifat kegotongroyongan dalam hal pembangunan rumah ibadah. Sumber : Buku BAHAN AJAR BUDAYA NUSANTARA, Oktober 2011, Dr. Woro Aryandini, SS, MSi dan tim

Kongres Kebudayaan Maluku Akan Digelar Di Dobo


BERITABETA, Ambon – Provinsi Maluku tahun ini akan menggelar Kongres Kebudayaan Maluku (KKM) di Kota Dobo, Kabupaten Kepulauan Aru. Kongres akan dimulai pada tanggal 6 sampai dengan 8 November 2018. KKM akan dirangkai dengan berbagai kegiatan, antara lain International Conference On The Search. Kelas budaya yang melibatkan anak-anak sekolah ini, akan dihadiri oleh sejumlah tamu asing dari beberapa negara. Mereka adalah peniliti tentang Maluku, Australia, Amerika dan perwaklian masyarakat Maluku dari Belanda. Demikian disampaikan Ketua Umum Lembaga Kebudayaan Daerah Provinsi Maluku, Toni Pariela kepada wartawan di Ambon, Sabtu (13/10/2018). Menurut Pariela, rencananya kegiatan ini akan dibuka langsung oleh menteri atau Gubernur dan Wakil Gubernur Maluku. KKM adalah agenda yang bertujuan untuk mempromosikan, mengkampanyekan identitas ke-Maluku-an. “Melalui KKM ini akan mendapat pemikiran untuk memperkuat kebudyaan Maluku. Mengingat salah satu tanggung jawab dari lembaga kebudayaan Maluku adalah mengembangkan kebudayaan Maluku, baik itu kebudyaaan Seram, Kei, Aru dan daerah lainnya,”ujar Pariela. Dikatakan, KKM juga dimaksudkan, agar Maluku tidak kehilangan identitas dan jati diri, karena kebudayaan daerah penting sebagai indentitas. “Jangan hanya bilang katong orang Ambon, katong orang Maluku, padahal katong tidak memiliki kebudayaan apa-apa lagi, dan hal tersebut tidak boleh terjadi,”ucapnya. (BB/DIO) Dikutip dari : https://beritabeta.com/news/ragam/kongres-kebudayaan-maluku-akan-digelar-di-dobo/

Rabu, 08 Agustus 2018

Call For Papers, 2th Announcement!!!

Ayo, jangan lewatkan kesempatan emas bagi Bapak/Ibu yang tertarik dengan Kebudayaan Maluku dan Aru. Silahkan masukkan makalah ilmiah Bapak/Ibu kepada Panitia KKM III secepatnya. Batas waktu tanggal 1 September 2018.

Sabtu, 07 April 2018


Selamat Datang di Blog Kami

Dengan Rahmat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa, kami Lembaga Kebudayaan Daerah Kepulauan Aru (LKDKA) menerbitkan blog sederhana ini guna menyebarluaskan informasi seputar LKDKA dan pelaksanaan Kongres Kebudayaan Maluku III - Dobo 2018 yang akan dilaksanakan pad 6 - 8 Nopember 2018 nanti.
Semoga kehadiran kami dapat membantu para pengunjung blog ini.
kritik dan saran serta masukan guna perbaikan blog ini sangat kami harapkan.

Salam hormat,

Sonny Djonler